Sabtu, 07 Mei 2011

3. Monopoli V.O.C .

Tujuan utama V.O.C/kompeni adalah mencari keuntungan dengan jalan berdagang, tetapi karena dalam perdagangannya selalu berusaha untuk mendapat monopoli, dan tidak menghendaki perdagangan yang bebas dimana tiap-tiap orang leluasa dapat melakukan jual-beli, dengan sendirinya perdagangan Kompeni selalu mendapatkan pertentangan dan mau tidak mau akan selalu bergandengan dengan peperangan, yang mengacaukan keamanan dan perdagangan.

Bangunan/Gedung Kantor VOC tahun 1600-an
Keuntungan yang diberikan kepada orang-orang yang memberikan modal dan cara membagikannya, menggambarkan bagaimana keadaan kompeni saat itu. Kekacauan pembagian laba timbul karena peperangan, sedang peperangan itu terjadi karena Kompeni ingin memegang teguh politik monopolinya.
Monopoli yang menjadi politik dagang kompeni, adalah suatu jalan untuk menolak segala persaingan dan perdagangan, sehingga ada kemungkinan mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Dengan jalan monopoli itulah Kompeni dapat menguasai harga pembelian dan harga penjualan. Tetapi disisi lain monopoli menimbulkan permusuhan.
Yang menjadi musuh Kompeni saat itu adalah kerajaan-kerajaan di Indonesia, kompeni-kompeni dagang negeri lain seperti Inggris, Portugis, dan Spanyol, kemudian orang belanda sendiri yang tidak bergabung dengan V.O.C.

Boleh dikatakan semua peperangan yang terjadi antara Kompeni/V.O.C. dengan raja-raja di Indonesia tahun 1800 disebabkan karena politik dagang monopoli.  Sistem monopoli melemahkan perdagangan dan tenaga rakyat. Kemudian raja-rajanya diikat dengan perjanjian-perjanjian. Jika perjanjian-perjanjian itu belum memberikan hasil yang memuaskan, maka seluruh negeri dikuasainya.

Orang Inggris, Portugis dan Spanyol diusir dari Indonesia atau daerah-daerah lainnya, yang diinginkan oleh Kompeni Belanda. Pengusiran itu langsung dengan kekuatan senjata oleh Kompeni sendiri atau dengan perantaraan raja-raja yang telah dikalahkan Kompeni dan diikat dengan perjanjian, yang mengharuskan raja-raja itu mengusir pedagang-pedagang asing dari daerahnya.

Kompeni mendapat hak monopoli dari pemerintah Belanda. Ini berarti, bahwa pemerintah Belanda melarang adanya perkumpulan-perkumpulan dagang atau orang lain melakukan kegiatan jual-beli ditempat yang telah ditunjuk untuk Kompeni.
Para Saudagar-saudagar besar seperti Balthasar de Moucheron, Pieter Lyntgens, dan Izaak le Maere muncul keinginan pada diri mereka untuk mematahkan hak monopoli, yang dipandangnya kurang adil itu. Mereka berencana mendirikan sebuah perserikatan dagang dengan bantuan Perancis. Raja Perancis Hendrik IV dan konsulnya di negeri Belanda Jeannin, ingin mempunyai kompeni dagang dengan pimpinan orang-orang Belanda, yang telah mempunyai nama dalam pelayaran dan perdagangan. Tetapi konsul Belanda di Paris, Francois Aerssens dapat membelokan perhatian raja ke arah lain, yaitu mendirikan kompeni Hindia-Barat, sehingga dengan berdirinya kompeni itu V.O.C terhindar dari bahaya persaingan. 

Tahun 1606 Badan Perwakilan negeri Belanda mengeluarkan maklumat, yang melarang tiap-tiap orang Belanda, atas nama negeri lain atau Raja luar negeri, berlayar ke Indonesia, dengan ancaman pengasingan seumur hidup dan perampasan harta bendanya.
Sementara Itu Izaak le Maere masih berusaha, karena merasa belum puas. Dengan bantuan pemerintah kota Hoorn, dia mendirikan Austraal Compagnie lau disiapkannya dua buah kapal, yang dipimpin oleh Jacques le Maere (anak dari Izaak le Maere) dan Willem Schouten. Mereka disuruh berlayar ke Hindia - Timur, tetapi tidak boleh melalui Selat Magelhaens, akan tetapi harus mencari jalan lain. Mereka beruntung menemukan selat baru, yang kemudia diberi nama selat Le Maere dan akhirnya sampai di Indonesia. Saat itu sebuah kapal mengalami kerusakan dan tenggelam. Sementara kapal yang satunya  lagi dirampas oleh J.P. Coen diperairan dekat Banten. Anak buah kapalnya diperbolehkan bekerja untuk V.O.C, sedangkan yang tidak mau diharuskan pulang ke negeri Belanda. Jacques le Maere meninggal dalam perjalanannya.

Permapasan kapal Austraal Compagnie itu oleh Izaak le Maere diperkarakan, Kompeni divonis bersalah dan diharuskan membayar kerugian.

Tahun 1609 Hugo de Groot, seorang ahli hukum belanda yang sangat terkenal, mengeluarkan sebuah risalah, yang berjudul "Mare Liberum". Tulisan itu berisi tentang bagaimana ia  mempertahankan kemerdakaan di laut. 

Orang Belanda yang berada di Indonesia awalnya hanya mereka-mereka yang bekerja pada kompeni/V.O.C saja, kemudian mulai hadir penduduk sipil. Penduduk sipil ini terdiri dari orang-orang yang sebelumnya bekerja pada kompeni kemudian keluar dan mereka yang sengaja datang dari Belanda ke Indonesia. Terhadap orang-orang sipil ini pun Kompeni masih tetap memegang monopolinya. Kompeni tidak sedikit pun memberikan kesempatan kepada mereka untuk berdagang. Sebenarnya pemimpin-pemimpin kompeni di Batavia/Jakarta sering menganjurkan, supaya penduduk sipil ini diberi kesempatan untuk mencari nafkah dalam perdagangan, tetapi Tuan-tuan XVII/Heeren XVII di negri Belanda tetap menolaknya.

Tuan-tuan/Heeren XVII itu pernah mengatakan : "Kalau menurut pendapat tuan-tuan (pemimpin kompeni/V.O.C di Jakarata) orang sipil itu tidak dapat hidup kalau tidak berdagang, maka seharusnya mereka jangan tinggal di Batavia,  sebab kalau diantara dua pihak harus ada yang menderita, orang sipillah yang harus menderita bukan Kompeni. Peringatan kami yang terpenting dan yang terakhir, terletak dalam menjalankan kewajiban yang menguntungkan Kompeni". 

Pada tahun 1675 ada seorang Gubernur Jendral yang mempergunakan Kapal-kapal Kompeni untuk mengangkut Bahan makanan ke Ceylon dan Jakarta karena ada bahaya kelaparan. Ternyata Gubernur Jendral tersebut malah mendapatkan celaan, karena kapal-kapal Kompeni dipakai untuk "memberi makan" mereka, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan Kompeni.

________________ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar